Kimitsuki Chapter 2.5 Bahasa Indonesia



Lantai pertama rumah sakit yang Mamizu tinggali berisi meja resepsionis pasien rawat jalan, dan itu dilengkapi dengan bangku-bangku dari warna pudar yang khusus untuk lembaga-lembaga publik. Ketika aku mengunjungi rumah sakit di hari lain, aku melihat Ritsu-san duduk di sana. Saat aku mendekati untuk menyambutnya, aku menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh tentang dirinya.
Wajahnya tampak seolah-olah dia akan mati.
Kulit wajahnya pucat, dan ekspresinya kaku. Saat aku melihat lebih dekat, aku menyadari bahwa ia gemetaran. Tidak hanya jari-jari atau kakinya, tapi seluruh tubuhnya gemetaran. Itu adalah pemandangan menyedihkan. Membatalkan kata “halo” yang telah kurencanakan untuk menyambutnya, aku menggantinya dengan perkataan, “Apakah anda baik-baik saja?”.
Ritsu memalingkan wajahnya ke arahku, ekspresinya terlihat seolah-olah dia sedang mengalami mimpi buruk, “... Apa kau di sini untuk mengunjungi Mamizu  juga?”
“Apa ada sesuatu yang terjadi?” Tanyaku, menekan kecemasanku.
“Aku tidak bisa seperti ini, ‘kan?” Kata Ritsu-san.
Tidak dapat merespon dengan “Itu benar,” atau “Itu tidak benar sama sekali,” aku tetap diam. Selama diamku, Ritsu-san mengulurkan kantong kertas yang ia tempatkan di sampingnya.
“Maafkan aku, tapi apa kau bisa memberikan ini pada Mamizu?”
Anda bisa memberikan kepadanya sendiri, itulah yang ingin kukatakan, aku berpikir sejenak, tapi kemudian aku mengambilnya tanpa berkata apa-apa.
“Sepertinya lebih baik kalau aku tidak melihatnya sekarang.” Ritsu-san berdiri. “Baiklah, aku mengandalkanmu,” katanya sambil mulai berjalan menuju pintu keluar dengan langkah goyah.
Aku tertegun menyaksikan dia pergi dan kemudian menuju ke kamar Mamizu. Aku menghabiskan seluruh perjalanan lift dengan merenungkan kata-kata Ritsu-san. Aku terus memikirkan makna di balik perkataannya. Aku tidak bisa membayangkan bahwa itu berarti sesuatu yang baik.
Saat aku memasuki ruangan, mata Mamizu langsung menatapku segera.
“Kupikir kau tidak akan datang lagi,” katanya.
Cahaya yang mengalir dari jendela, samar-samar menerangi tubuhnya.
Dia memiliki wajah yang cantik, pikirku. Jika Mamizu tidak sakit, aku ingin tahu kehidupan macam apa yang akan dia jalani. Aku yakin dia akan selalu dikelilingi oleh orang-orang, dan memiliki kepribadian yang jauh lebih cerah daripada yang dia miliki sekarang. Dan mungkin dia bahkan tidak mau berbicara denganku.
"Kenapa?" Tanyaku sambil duduk di bangku dekat tempat tidur dan menyilangkan kaki.
"Kupikir kau mungkin marah."
"Tentang apa?"
"Aku mengatakan bahwa kita akan pergi ke suatu tempat, tapi ternyata tidak seperti itu."
"Mengapa aku harus marah karena hal itu?" Aku tidak bisa mengerti cara berpikirnya sama sekali.
"Aku selalu memikirkannya. Aku selalu mengatakan hal-hal yang egois dan selalu menyebabkanmu bermasalah. Jadi tak lama lagi, kau akan muak denganku, dan suatu hari nanti, kau akan mendadak berhenti mengunjungiku, Takuya-kun. Dan itu akan menjadi akhir. "
"Itu takkan terjadi," kataku tanpa berpikir panjang, untuk menenangkannya.
"Hei, suatu hari, kalau aku bersikeras mengatakan untuk jangan pernah datang lagi, apa kau masih akan datang dan melihatku?" Tanya Mamizu.
Pertanyaannya yang tidak masuk akalnya membuatku sulit untuk mejawabnya.
... Dia sepertinya menjadi berhati lemah. Aku tidak tahu apakah itu karena pemeriksaannya berjalan buruk atau karena hal lain, tapi sepertinya dia kehilangan ketenangannya dan menjadi berkecil hati.
"Jangan mengkhawatirkan hal aneh seperti itu." Untuk mengakhiri percakapan ini, aku menyerahkan tas kertas pada Mamizu yang telah dipercayakan padaku. "Aku bertemu ibumu di pintu masuk tadi. Dia tampak sibuk, dan dia menyuruhku untuk memberikan ini padamu. "
"Sebenarnya ibuku bukanlah orang jahat. Takuya-kun, aku minta maaf tentang masalah waktu itu. Di masa lalu, dia adalah orang yang lebih lembut. Dia mungkin lelah karena diriku, " kata Mamizu sambil mengeluarkan apa yang ada di dalam kantong kertas. Itu adalah sepasang jarum rajut dan sepotong  rajutan yang baru sebagian.
"Apa itu?" Tanyaku penasaran.
"Aku memulai ini tepat setelah aku masuk sekolah SMP, dan kemudian merasa berkecil hati karena tidak segera menyelesaikannya ini. Tiba-tiba aku mengingatnya dan berpikir bahwa sementara aku melakukannya, aku mungkin juga bisa menyelesaikan hal-hal semacam ini juga, sehingga aku tidak meninggalkan apapun yang belum selesai. "
Entah kenapa, Mamizu menatap bulu wol yang tidak lengkap itu, seolah-olah bingung apa yang harus dilakukan. Rajutan itu belum mengambil bentuk yang tepat.
"Waktu itu, kupikir aku akan merajut sweater, tapi ini takkan selesai tepat waktu, bukan?"
"Pada waktu apa?"
"Musim dingin. Tidak ada gunanya memakai sweater di musim semi, ‘kan?” Mamizu menghela napas panjang dan menjatuhkan diri ke tempat tidurnya. Dan kemudian dia menatapku dengan mata yang tampak depresi.
“Hei, apa yang ingin kau lakukan selanjutnya?” Tanyaku, seolah-olah ini adalah hal wajar bagiku untuk menanyakan hal ini.
"… Baiklah, kalau begitu. Aku ingin pergi melihat bintang! Aku suka bintang,” tambahnya dengan suara manja, tersenyum seolah-olah dia tahu bahwa dia meminta sesuatu yang tidak masuk akal.
Ini pertama kalinya aku mendengar suaranya seperti itu, pikirku.
Mungkin jarak antara kita sudah sedikit dekat. Atau mungkin sudah terlalu dekat.


close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama